(Teaching kids to count is fine but teaching
them what counts is best).
~Bob Talbert~
Memahamkan
anak tentang konsekuensi dari sebuah pilihan merupakan hal yang benar, namun
membekali mereka dengan pengetahuan tentang hal baik dan buruk (nilai kebajikan
universal) adalah sesuatu yang substansi. Pengetahuan saja tidak cukup, murid
juga harus dibekali dengan pendidikan karakter.
Seorang guru yang baik, hendaknya mampu menjadi teladan yang baik bagi murid. Menjadi guru artinya kita siap untuk menjadi teladan bagi murid maupun seluruh warga sekolah bahkan di lingkungan tempat tinggal. Sejatinya ketika kita memilih berprofesi menjadi seorang guru artinya kita harus siap menjadi teladan bagi orang sekeliling kita. Prinsip-prinsip inilah yang harusnya kita pegang dan kita hayati sebagai seorang guru dan pendidik.
Filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang mengemukakan bahwa pendidikan itu adalah proses menuntun yang dilakukan guru untuk mengubah prilaku murid sehingga dapat hidup sesuai kodratnya baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat. Proses menuntun tersebut dapat dilakukan dengan Pratap Triloka yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha – di depan memberikan contoh, Ing Madya Mangun Karsa – di tengah membangkitkan/ membangun kemauan, Tut Wuri Handayani – mengikuti dibelakang menyokong kekuatan.
Pratap Triloka atau tiga prinsip pembelajaran ini banyak diterapkan untuk kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin tidak harus selalu di depan atau pun terdepan. Di mana pun dia berdiri memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Seorang guru dituntut untuk bisa memposisikan dirinya sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah, menjalankan fungsinya secara profesional dan proporsional.
Nilai-nilai yang sudah tertanam dalam diri baik pengaruh internal maupun eksternal akan sangat mempengaruhi prinsip-prinsip yang akan diambil dalam pengambilan suatu keputusan. Menguatkan nilai-nilai baik dalam diri sebagai bagian dari refleksi diri sangat menentukan kualitas sebuah keputusan. Pohon yang akarnya busuk akan merusak pohon itu sampai ke pucuk, rumah yang pondasinya tidak kokoh maka mudah roboh. Seorang guru tanpa prinsip yang kuat maka tak akan mampu menjadi sandaran bagi muridnya.
Sebagai pengambil keputusan memerlukan proses pembelajaran dan pendampingan (coaching). Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak sedap.
Pengambil keputusan seyogyanya adalah pribadi yang matang secara sosial, emosional dan sudah selesai akan dirinya agar menghasilkan keputusan yang berpihak kepada murid. Mampu merasakan seperti yang dirasakan murid, tidak mendahulukan emosi dari tindakan, dan keputusan yang dibuat mampu dipertanggungjawabkan kepada seluruh pihak yang terkait.
Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai moral dan etika yang dianut seorang pendidik. Pengambilan keputusan tentunya tidak terjadi secara mendadak dan tiba-tiba, tentunya pengambilan keputusan melewati proses pertimbangan-pertimbangan tertentu (etika dan moral). Sebuah keputusan yang tidak diperhitungkan secara etis dan matang dapat berdampak mengerikan baik secara pribadi maupun publik.
Pada konteks pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran khususnya pada dilema etika yang kerap terjadi di lingkungan sekolah, seorang guru dituntut untuk mampu menerapkan langkah-langkah pengambilan keputusan. Hal ini membutuhkan kerjasama/ kolaborasi semua pihak di sekolah berdasarkan pendekatan manajemen perubahan kolaboratif yang berbasis pada kekuatan (Inkuiri Apresiatif) sehingga berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
Membangun gerakan bersama (paradigma perubahan positif) merupakan peluang dan tantangan. Mulai dari diri, bangun energi dengan rekan satu frekuensi, bangkitkan dalam komunitas praktisi adalah peluang besar untuk transformasi pendidikan yang memerdekakan.
Menyusun dan mengurai kembali coretan-coretan yang sudah tertulis pada kertas putih menjadi untaian kalimat yang tergerak, bergerak, dan menggerakkan niscaya memberi makna dan nilai pada kertas tersebut yang akan dibawa sepanjang perjalanan kehidupannya. Proses tersebut memerlukan pengambilan keputusan yang bijaksana. Kertas putih itu bisa saja menjadi kusut, robek, dan hangus apabila keputusan yang diambil tidak tepat. Maka dari itu pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran membutuhkan pemahaman konsep pendidikan yang memerdekakan, kematangan sosial-emosional, coaching, nilai dan konsep diri, kebijaksanaan, dan amanah kepemimpinan.
Beban dan amanah kepemimpinan adalah mengimbangi semua prioritas yang terpenting. Tugas saya dalam pendidikan adalah melakukan yang terbaik. Apa yang diinginkan kadang-kadang belum tentu itu yang terbaik. Dan untuk membuat perubahan, apalagi perubahan yang transformational, pasti ada kritik. Sebelum mengambil keputusan, tanyakan, apakah yang kita lakukan berdampak pada peningkatan pembelajaran murid? (Nadiem Makarim, 2020).
Salam dan Bahagia
I Kadek Arta - CGP Angkatan 3 Kab. Klungkung