Jumat, 18 Februari 2022

Koneksi Antar Materi "PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN"


“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best).

~Bob Talbert~

 

Memahamkan anak tentang konsekuensi dari sebuah pilihan merupakan hal yang benar, namun membekali mereka dengan pengetahuan tentang hal baik dan buruk (nilai kebajikan universal) adalah sesuatu yang substansi. Pengetahuan saja tidak cukup, murid juga harus dibekali dengan pendidikan karakter.

Seorang guru yang baik, hendaknya mampu menjadi teladan yang baik bagi murid. Menjadi guru artinya kita siap untuk menjadi teladan bagi murid maupun seluruh warga sekolah bahkan di lingkungan tempat tinggal. Sejatinya ketika kita memilih berprofesi menjadi seorang guru artinya kita harus siap menjadi teladan bagi orang sekeliling kita. Prinsip-prinsip inilah yang harusnya kita pegang dan kita hayati sebagai seorang guru dan pendidik.

Filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang mengemukakan bahwa pendidikan itu adalah proses menuntun yang dilakukan guru untuk mengubah prilaku murid sehingga dapat hidup sesuai kodratnya baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat. Proses menuntun tersebut dapat dilakukan dengan Pratap Triloka yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha – di depan memberikan contoh, Ing Madya Mangun Karsa – di tengah membangkitkan/ membangun kemauan, Tut Wuri Handayani – mengikuti dibelakang menyokong kekuatan.

Pratap Triloka atau tiga prinsip pembelajaran ini banyak diterapkan untuk kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin tidak harus selalu di depan atau pun terdepan. Di mana pun dia berdiri memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Seorang guru dituntut untuk bisa memposisikan dirinya sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah, menjalankan fungsinya secara profesional dan proporsional.

Nilai-nilai yang sudah tertanam dalam diri baik pengaruh internal maupun eksternal akan sangat mempengaruhi prinsip-prinsip yang akan diambil dalam pengambilan suatu keputusan. Menguatkan nilai-nilai baik dalam diri sebagai bagian dari refleksi diri sangat menentukan kualitas sebuah keputusan. Pohon yang akarnya busuk akan merusak pohon itu sampai ke pucuk, rumah yang pondasinya tidak kokoh maka mudah roboh. Seorang guru tanpa prinsip yang kuat maka tak akan mampu menjadi sandaran bagi muridnya.

Sebagai pengambil keputusan memerlukan proses pembelajaran dan pendampingan (coaching).  Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak sedap.

Pengambil keputusan seyogyanya adalah pribadi yang matang secara sosial, emosional dan sudah selesai akan dirinya agar menghasilkan keputusan yang berpihak kepada murid. Mampu merasakan seperti yang dirasakan murid, tidak mendahulukan emosi dari tindakan, dan keputusan yang dibuat mampu dipertanggungjawabkan kepada seluruh pihak yang terkait.

Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai moral dan etika yang dianut seorang pendidik. Pengambilan keputusan tentunya tidak terjadi secara mendadak dan tiba-tiba, tentunya pengambilan keputusan melewati proses pertimbangan-pertimbangan tertentu (etika dan moral). Sebuah keputusan yang tidak diperhitungkan secara etis dan matang dapat berdampak mengerikan baik secara pribadi maupun publik.

Pada konteks pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran khususnya pada dilema etika yang kerap terjadi di lingkungan sekolah, seorang guru dituntut untuk mampu menerapkan langkah-langkah pengambilan keputusan. Hal ini membutuhkan kerjasama/ kolaborasi semua pihak di sekolah berdasarkan pendekatan manajemen perubahan kolaboratif yang berbasis pada kekuatan (Inkuiri Apresiatif) sehingga berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Membangun gerakan bersama (paradigma perubahan positif) merupakan peluang dan tantangan. Mulai dari diri, bangun energi dengan rekan satu frekuensi, bangkitkan dalam komunitas praktisi adalah peluang besar untuk transformasi pendidikan yang memerdekakan.

Menyusun dan mengurai kembali coretan-coretan yang sudah tertulis pada kertas putih menjadi untaian kalimat yang tergerak, bergerak, dan menggerakkan niscaya memberi makna dan nilai pada kertas tersebut yang akan dibawa sepanjang perjalanan kehidupannya. Proses tersebut memerlukan pengambilan keputusan yang bijaksana. Kertas putih itu bisa saja menjadi kusut, robek, dan hangus apabila keputusan yang diambil tidak tepat. Maka dari itu pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran membutuhkan pemahaman konsep pendidikan yang memerdekakan, kematangan sosial-emosional, coaching, nilai dan konsep diri, kebijaksanaan, dan amanah kepemimpinan.

Beban dan amanah kepemimpinan adalah mengimbangi semua prioritas yang terpenting. Tugas saya dalam pendidikan adalah melakukan yang terbaik. Apa yang diinginkan kadang-kadang belum tentu itu yang terbaik. Dan untuk membuat perubahan, apalagi perubahan yang transformational, pasti ada kritik. Sebelum mengambil keputusan, tanyakan, apakah yang kita lakukan berdampak pada peningkatan pembelajaran murid? (Nadiem Makarim, 2020).

Salam dan Bahagia

I Kadek Arta - CGP Angkatan 3 Kab. Klungkung

 

Share:

Senin, 14 Februari 2022

Demonstrasi Kontektual - Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran


Pada tugas kali ini, saya diminta untuk membuat sebuah jurnal monolog (diskusi dengan diri sendiri). Jurnal ini saya sajikan berupa blog-tulisan naratif sesuai pertanyaan panduan yang diberikan.

Sebelum saya melanjutkan diskusi dengan diri sendiri, saya mencoba terlebih dahulu memaparkan apa yang telah dipelajari pada modul ini.

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, kita pasti sering dihadapkan dalam situasi yang mengharuskan mengambil suatu keputusan. Namun, seberapa sering keputusan tersebut melibatkan kepentingan dari masing-masing pihak yang sama-sama benar, tapi saling bertentangan satu dengan yang lain?

Bagaimana cara kita dalam menghadapi situasi seperti ini? Pemikiran-pemikiran seperti apa yang melandasi pengambilan keputusan? Kemudian, setelah mengambil keputusan tersebut, pernahkah kita menjadi ragu-ragu dan menanyakan diri sendiri apakah keputusan yang diambil telah tepat, ada perasaan tidak nyaman dalam diri, atau timbul pemikiran mengganjal dalam diri seperti, ‘Apakah ini sesuai peraturan?’ atau ‘Bagaimana panutan saya akan berlaku dalam hal seperti ini?’

A. Perbedaan Bujukan Moral dan Dilema Etika

Dalam pengambilan keputusan terkadang melibatkan bujukan moral dan dilema etika. Nah apakah perbedaan keduanya itu?

  • Bujukan moral atau benar vs salah adalah sebuah situasi yang terjadi dimana seseorang dihadapkan pada situasi benar atau salah dalam mengambil sebuah keputusan.
  • Dilema etika atau benar vs benar adalah sebuah situasi yang terjadi dimana seseorang dihadapkan pada situasi keduanya benar namun bertentangan dalam mengambil sebuah keputusan.

B. Empat Paradigma dalam Pengambilan Keputusan

Berdasarkan pengalaman kita dalam melaksanakn tugas sebagai guru pada institusi pendidikan, kita menyadari bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu. Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan universal yang mendasari namun saling bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.

Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini.

  1. Individu lawan masyarakat (individual vs community)
  2. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
  3. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
  4. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

C. Tiga Prinsip dalam Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan sebuah keputusan ada tiga prinsip yang melandasinya. Ketiga prinsip ini yang seringkali membantu dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut yaitu.

  1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
  2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
  3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

D. Konsep Pengambilan dan Pengujian Keputusan

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, kita harus memastikan bahwa keputusan yang di ambil adalah keputusan yang tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah keputusan tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pengambilan keputusan secara etis.

Di bawah ini adalah 9 langkah yang telah disusun untuk memandu kita dalam mengambil dan menguji keputusan dalam situasi dilema etika yang membingungkan karena adanya beberapa nilai-nilai yang bertentangan.

  1. Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.
  2. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.
  3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.
  4. Pengujian benar atau salah. Ada uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji halaman depan koran, dan uji panutan/idola.
  5. Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.
  6. Melakukan Prinsip Resolusi.
  7. Investigasi Opsi Trilema.
  8. Buat Keputusan.
  9. Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan.

Materi-materi tersebut tentu harus kita perdalam lagi, coba praktekkan, dan saling berbagi pengalaman praktek baik akan menjadi budaya positif pada lingkungan kita.

Nah untuk itu melalui program ini saya akan mencoba bertanya dan sekaligus menjawab pada diri apa yang akan saya bisa lakukan dan bagikan? Melalui pertanyaan-pertanyaan panduan berikut saya akan mencoba berdiskusi dengan diri sendiri.

Bagaimana Anda nanti akan mentransfer dan menerapkan pengetahuan yang Anda dapatkan di program guru penggerak ini di sekolah/lingkungan asal Anda?

Sebelum berbagi pengetahuan dan pengalaman, tentunya saya akan mulai dari diri memahami lebih mendalam materi tersebut di atas dan mencoba mempraktekkan pada lingkungan kecil di rumah dan kelas saya. Berkolaborasi dalam pengalaman adalah yang paling berharga yang saya dapatkan dalam program ini. Memberi pemantik melalui diskusi ringan melalui WAG, tulisan penggugah pada media sosial, dan menggerakkan komunitas praktisi yang sudah terbentuk di sekolah dengan sinergisitas program sekolah merupakan langkah-langkah yang saya ambil.

Apa langkah-langkah awal yang akan Anda lakukan untuk memulai mengambil keputusan berdasarkan pemimpin pembelajaran?

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran di sekolah dalam rangka mewujudkan merdeka belajar dengan pembelajaran yang berpihak kepada murid, tentunya kita akan dihadapkan pada situasi dilema untuk mengambil sebuah keputusan yang bijaksana bagi semua pihak. Dalam nilai kebajikan di daerah saya selalu ditanamkan tentang konsep Tri Kaya Parisudha yakni Manacika adalah suatu tindakan berpikir bijaksana sebelum mengambil sebuah keputusan, Wacika adalah suatu perkataan atau proses berkomunikasi berdasarkan etika dan prinsip sesuai dengan kondisi yang melandasi argumentasi sebelum keputusan diambil, dan Kayika adalah suatu tindakan atau keputusan yang harus diambil berlandaskan kebijaksanaan. Konsep inilah yang saya akan jadikan pegangan atau langkah awal untuk memulai mengambil keputusan berdasarkan pemimpin pembelajaran. Selanjutnya saya akan menerapkan satu atau lebih dari empat paradigma dn tiga prinsip pengambilan keputusan, dan langkah paling penting adalah melakukan pengujian sebelum keputusan tersebut diambil. Semua langkah tersebut tentunya akan melibatkan banyak pihak dan di atas semua itu mohon petunjuk dan tuntunan-Nya merupakan keutamaan.

Mulai kapan Anda akan menerapkan langkah-langkah tersebut, hari ini, besok, minggu depan, hari apa? Catat rencana Anda, sehingga Anda tidak lupa.

Masalah datang tidak dapat kita tentukan. Oleh karena itu sebelum masalah itu datang, kita wajib mempersiapkan diri dengan baik. Kapan? Tentunya hari ini juga saya akan memulainya dari diri sendiri, dalam lingkup keluarga, kelas, dan institusi saya. Dalam lingkup kelas dan institusi sudah barang tentu saya akan menghormati norma dan nilai-nilai baik yang sudah berlaku di sekolah. Saling berkoordinasi dengan pimpinan, berkolaborasi dengan rekan sejawat, dan memberikan tauladan kepada siswa menjadikan langkah-langkah tersebut terasa semakin ringan. Dari lingkup keluarga, saya sudah memulainya dengan berdiskusi santai bersama pasangan dan anak-anak di rumah.

Siapa yang akan menjadi pendamping Anda, dalam menjalankan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran? Seseorang yang akan menjadi teman diskusi Anda untuk menentukan apakah langkah-langkah yang Anda ambil telah tepat dan efektif.

Dalam pengambilan keputusan yang bijaksana, tentunya keputusan tersebut tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri namun akan melibatkan banyak pihak. Sebagai manusia biasa, saya pasti tidak pernah luput dari kekeliruan dan kealpaan. Maka dukungan pihak lain yang satu frekuensi, memiliki pengalaman dan kebijaksaan menjadi kekuatan bagi saya dalam menjalankan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Mereka adalah jiwa-jiwa penuh kasih yang telah tuntas akan dirinya. Istri sebagai pendamping diskusi di rumah, rekan CGP, rekan-rekan dalam Komunitas Praktisi, dan Kepala Sekolah akan selalu menjadi teman diskusi saya untuk menentukan apakah langkah-langkah yang saya ambil telah tepat dan efektif.

Sebagai akhir dari diskusi dengan diri, saya kembali menengok prinsip kebajikan yang pernah saya pelajari yakni Live Simply, Dream Big, Be Greatful, and Give Love.

~ Salam dan Bahagia ~

Share:

Selasa, 09 November 2021

Hari Raya Galungan – Kuningan (Sejarah, Makna dan Perayaannya)


Galungan
merupakan Hari Raya Suci Agama Hindu yang jatuh setiap 6 bulan sekali (1 bulan candra atau sasih = 30 hari) atau berdasarkan pawukon Buda Kliwon Dungulan. Hari Raya Galungan merupakan hari di mana kemenangan Dharma melawan Adharma. Umat Hindu juga biasanya memasang Penjor sehari sebelum Galungan atau tepatnya pada Penampahan Galungan.

Penjor adalah simbol dari Naga Basukih, di mana Basukih berarti kemakmuran atau kesejahteraan. Memasang Penjor juga berarti sebagai wujud rasa bhakti dan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala kemakmuran dan kesejahteraan yang telah diberikan-Nya.

Setelah Hari Raya Galungan, umat Hindu juga merayakan Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Di hari Raya Kuningan ini, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus bisa berintropeksi untuk menjadikan diri kita lebih baik dan juga bisa mengalahkan sifat Adharma yang ada pada diri kita.

Dikutip dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Secara rohani, manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kegiatan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok.

Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kalatiga, yakni tiga macam kala secara bersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan).

Maksud dari tiga kala yakni:

  1. Kala Amangkurat, yakni nafsu yang selalu ingin berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahan­kan kekuasaan sekalipun menyimpang dari kebenaran.
  2. Kala Dungulan, yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh teman kita atau orang lain.
  3. Kala Galungan, yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.

Hari Raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka", lebih jauh dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah: kenafsuan (kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada), iri hati (irsya) atau semua tergolong dalam Sad Ripu maupun Satpa Timira.

Sebagaimana kita ketahui, kisah tersebut telah tertuang dalam Kitab Mahabharata yang termasuk Itihasa sangat utama dalam sastra Hindu. Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan dharma.

Sang Darmawangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma, beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang (Satyam Evam Jayate). Lain halnya dengan Maha Kawi Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Mayadanawantaka. Dalam ceritanya, dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung Gunung Ksitipogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kintamani, Bangli di Bali. Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya, ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyat di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan. Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, meng­hina sastra dan ajaran agama. Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk memeranginya. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Siwa dengan Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta cetik, sehingga pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa Siwa mati. Singkat cerita, Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Ia menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul, diperciki pasukan yang mati hidup kembali.

Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa terkepung, tentaranya mati, dia lari tunggang langgang, segala macam taktik tipu muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak dilihat, dia lari dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan Dewa Siwa, sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak Siring asal kata dari telapak kaki miring. Kemudian, Mayadanawa lari bersembunyi di pohon kelapa pada kuncup/pada busung kelapa, namun tetap dapat dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan Desa Blusung. Akhir cerita, karena Mayadanawa dipihak yang salah, peperangan dimenangkan oleh pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati.

Hari Galungan juga merupakan hari Pewedalan Jagat atau hari ulang tahunnya Jagat Raya. Oleh karena itu, umat Hindu di hari Galungan melaksanakan upacara, menghaturkan sesajen sesuai peruntukannya yang ditujukan sebagai ungkapan perasaan bakti, sujud, kagum dan bersyukur terhadap Jagat Raya yang diciptakan oleh Tuhan. Jagat Raya sebagai tempat untuk hidup, memberikan segala sumber penghidupan, untuk itu di hari Galungan sangat baik melakukan dana punia baik berbentuk material, maupun berupa pengabdian/jasa. Karena dalam bentuk apapun, dana punia itu diberikan yang tujuannya untuk kesejahteraan umat, ketenangan nilainya sangat tinggi bila diberikan secara tulus ikhlas.

NB: Dalam tulisan ini, dasar-dasar atau sumber rujukan sastra dalam pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan tidak kami sajikan secara rinci karena penjelasannya akan sangat panjang.

Share:

Rabu, 29 September 2021

Visi Guru Penggerak

 A. Pendahuluan

Menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid menjadi hal yang diinginkan semua pihak. Hal ini tidaklah mudah untuk diwujudkan. Perlu perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Visi membantu kita untuk melihat kondisi saat ini sebagai garis “start” dan membayangkan garis “finish” seperti apa yang ingin dicapai. Ini bagaikan seorang pelari yang perlu mengetahui garis “start” dan garis “finish” bahkan sebelum ia benar-benar berlari melintasi jalur lari tersebut.

Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah.

Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat bertahap. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain yang berada di dalam pengaruh Anda untuk menjalani proses perubahan ini bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah.

  

B. Paradigma Perubahan Positif

Untuk dapat mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga.

Inkuiri Apresiatif (IA) dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.

IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Menurut Drucker, kepemimpinan dan manajemen adalah keabadian. Oleh sebab itu, seorang pemimpin bertugas menyelaraskan kekuatan yang dimiliki organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem dalam organisasi menjadi tidak relevan, karena semua aspek dalam organisasi fokus pada penyelarasan kekuatan.

Di sekolah, pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada di sekolah, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan, kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif yang telah ada, sekolah kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi sekolah dan visi setiap warga sekolah.

Perubahan yang positif di sekolah tidak akan terjadi jika pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi sekolah saat ini diawali dengan permasalahan yang terjadi atau mencari aktor sekolah yang melakukan kesalahan. Pertanyaan yang sering diajukan adalah, “Mengapa capaian hasil belajar siswa rendah?”, “Apa yang membuat rencana kegiatan sekolah tidak berjalan lancar?”, dan lain sebagainya. Motivasi untuk melakukan perubahan tentu akan berangsur menurun jika diskusi diarahkan pada permasalahan. Suasana psikologis yang terbangun tentu akan berbeda jika pertanyaan diawali dengan pertanyaan positif seperti ini :

  • Hal-hal baik apa yang pernah dicapai murid di kelas?
  • Apa hal menarik yang dapat dipetik pelajarannya dari setiap guru di kelas?
  • Bagaimana mengembangkan praktik baik setiap guru untuk dipertahankan sebagai budaya sekolah?

Inilah langkah-langkah yang perlu Anda ikuti dalam menerapkan perubahan sesuai dengan visi yang Anda telah impikan berdasarkan tahapan BAGJA. Tahap pertama, Buat Pertanyaan Utama. Di tahap ini, Anda merumuskan pertanyaan sebagai penentu arah penelusuran terkait perubahan apa yang diinginkan atau diimpikan. Tahap kedua, Ambil Pelajaran. Pada tahapan ini, Anda mengumpulkan berbagai pengalaman positif yang telah dicapai di sekolah dan pelajaran apa yang dapat diambil dari hal-hal positif tersebut. Tahap ketiga, Gali Mimpi. Pada tahapan ini, Anda dapat menyusun narasi tentang kondisi ideal apa yang diimpikan dan diharapkan terjadi di sekolah. Disinilah visi benar-benar dirumuskan dengan jelas. Tahap keempat, Jabarkan Rencana. Di tahapan ini, Anda dapat merumuskan rencana tindakan tentang hal-hal penting apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan visi. Tahapan terakhir, Atur Eksekusi. Di bagian ini, Anda memutuskan langkah-langkah yang akan diambil, siapa yang akan terlibat, bagaimana strateginya, dan aksi lainnya demi mewujudkan visi perlahan-lahan.


Pada awal penerapannya, mungkin kita akan merasakan kejanggalan atau meragukan keberhasilannya. Namun, kita akan mencobanya dan menikmati kurva belajarnya. Kurva belajar yang kita akan alami mirip seperti seekor anak burung yang belajar terbang. Pada saat pertama kali terbang, jalur terbang anak burung tidak akan langsung ke atas, tapi akan ke bawah dahulu kemudian meliuk ke atas sebagaimana terlihat pada gambar berikut.


    Dengan merujuk pada kurva belajar ini, maka marilah terus percaya bahwa pendekatan positif akan membuahkan hasil yang lebih luar biasa. Ini adalah kebiasaan baru.


C. Contoh Sederhana 
Paradigma Perubahan Positif

Berikut contoh sederhana paradigma perubahan positif Inkuri Apresiatif (IA) dengan tahapan BAGJA:

Silahkan DOWNLOAD


D. Contoh Sederhana 
Gagasan Positif berdasarkan Paradigma BAGJA

    Visi: Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang berkarakter dan berbudaya menggunakan strategi PaReJar

    Silahkan DOWNLOAD


Share:

Jumat, 03 September 2021

Peran dan Nilai Guru Penggerak

A. Latar Belakang

Pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan dan Pengajaran dinilai masih sangat relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan saat ini.

Semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, Merdeka Belajar.

Kedua semangat ini kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).

Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya. Dimensi ini adalah: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif. Keenam dimensi ini perlu dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak terpisahkan.

Dalam usaha mewujudkan Profil Pelajar Pancasila ini, tentunya perlu peran pendidik untuk menuntun anak serta menumbuhkan berbagai karakter/nilai yang dijabarkan. Untuk mendukung tercapainya karakter ini, setiap guru perlu menanamkan nilai-nilai dan pola pikir sebagai penuntun atau pamong. Nilai-nilai ini bisa berkembang jika seorang guru penggerak mengaktifkan otak luhurnya agar bisa berpikir strategis dan kreatif dalam menjalankan peran sebagai guru penggerak.

 

B. Pembentukan Nilai Diri

Suka atau tidak, di luar kelebihan dan kelemahannya, baik atau tidak karakternya, guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat diteladani di tengah masyarakat kita. Guru sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi teladan bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan sengaja atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa. Menjadi teladan harus diusahakan secara sadar.

Lumpkin (2008), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka.

Guru adalah manusia yang senantiasa berusaha untuk menggerakkan manusia lainnya. Oleh karena itu, guru harus lebih dulu sadar bagaimana dirinya tergerak, kemudian memilih untuk bergerak dan akhirnya menggerakkan manusia yang lain.


C. Profil Pelajar Pancasila

Pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara dinilai masih relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan saat ini. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, anak perlu diberikan kebebasan dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia ini yang akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, Merdeka Belajar.

Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).

Gambar 1Profil Pelajar Pancasila


Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya. Dimensi ini adalah: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif. Keenam dimensi ini perlu dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak terpisahkan.


D. Peran Guru Penggerak

Seorang Guru Penggerak harus memiliki empat kompetenasi berikut: mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan sekolah.

Guru Penggerak tidak hanya berfokus pada sebagai pemimpin pembelajaran, akan tetapi juga menggerakkan diri serta lingkungan sekolah agar dapat mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid.

Peran Guru Penggerak itu sendiri, merupakan sebuah ringkasan dari kompetensi tersebut. Terdapat 5 butir peran dari seorang Guru Penggerak:

D.1. Menjadi Pemimpin Pembelajaran

Menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong wellbeing ekosistem pendidikan sekolah. Pemimpin Pembelajaran berarti seorang Guru Penggerak menjadi seorang pemimpin yang menitikberatkan pada komponen yang terkait erat dengan pembelajaran, seperti kurikulum, proses belajar mengajar, asesmen, pengembangan guru serta komunitas sekolah, dll. Yang dimaksud dengan wellbeing disini terkait dengan kondisi yang sudah berpihak pada murid. Jadi seorang Guru Penggerak diharapkan mampu berperan sebagai pemimpin yang berorientasi pada murid, dengan memperhatikan segenap aspek pembelajaran yang mendukung tumbuh-kembang murid.

D.2. Menggerakkan Komunitas Praktisi

Menggerakkan komunitas praktik untuk rekan guru di sekolah dan di wilayahnya. Seorang Guru Penggerak berpartisipasi aktif dalam membuat komunitas belajar untuk para rekan guru baik di sekolah maupun wilayahnya. Banyaknya praktik baik yang bisa dibagikan dalam komunitas tersebut bisa menjadi bahan pembelajaran untuk para guru sejawat dan tentunya untuk Guru Penggerak tersebut juga.

D.3. Menjadi Coach Bagi Guru Lain

Menjadi coach dan mentor bagi rekan guru lain terkait pengembangan pembelajaran di sekolah. Seorang Guru Penggerak juga harus mampu mendeteksi aspek-aspek yang bisa ditingkatkan dari rekan sejawatnya. Seorang Guru Penggerak diharapkan juga mampu merefleksikan hasil pengalamannya sendiri serta guru lain untuk dijadikan poin peningkatan untuk pembelajaran. Tidak lupa juga sebagai seorang coach, Guru Penggerak diharapkan juga bisa memantau perkembangan dari rekan guru lain tersebut.

D.4. Mendorong Kolaborasi Antar Guru

Membuka ruang diskusi positif dan kolaborasi antara guru dan pemangku kepentingan di dalam dan di luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pada peran ini, seorang Guru Penggerak diharapkan mampu memetakan para pemangku kepentingan di sekolah (serta luar sekolah), serta membangun dialog antar para pemangku kepentingan tersebut.

D.5. Mewujudkan Kepemimpinan Murid

Mendorong peningkatan kemandirian dan kepemimpinan murid di sekolah. Peran seorang Guru Penggerak berarti membantu para murid ini untuk mandiri dalam belajar, mampu memunculkan motivasi murid untuk belajar, juga mendidik karakter murid di sekolah.

 

E. Nilai-Nilai Guru Penggerak

Menurut Rokeach (dalam Hari, Abdul H. 2015), nilai merupakan keyakinan sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan standar pengambilan keputusan terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Kehadiran nilai dalam diri seseorang dapat berfungsi sebagai standar bagi seseorang dalam mengambil posisi khusus dalam suatu masalah, sebagai bahan evaluasi dalam membuat keputusan, bahkan hingga berfungsi sebagai motivasi dalam mengarahkan tingkah laku individu dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai dari Guru Penggerak adalah: Mandiri, Reflektif, Kolaboratif, Inovatif, serta Berpihak pada Murid.

E.1. Mandiri

Mandiri berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa mendorong dirinya sendiri untuk melakukan aksi serta mengambil tanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada dirinya. Segala perubahan yang terjadi di sekitar kita maupun pada diri kita, muncul dari diri kita sendiri. Ketika kita hanya menunggu sesuatu untuk terjadi, seringkali hal tersebut tidak pernah terjadi. Karena itu seorang Guru Penggerak diharapkan mampu mendorong dirinya sendiri untuk melakukan perubahan, untuk memulai sesuatu, untuk mengerjakan sesuatu terkait dengan perubahan apa yang diinginkan untuk terjadi.

Guru Penggerak yang mandiri, berarti guru tersebut mampu memunculkan motivasi dalam dirinya sendiri untuk membuat perubahan baik untuk lingkungan sekitarnya ataupun pada dirinya sendiri. Hal ini terutama perlu muncul dalam aspek pengembangan dirinya. Seorang Guru Penggerak termotivasi untuk mengembangkan dirinya tanpa harus menunggu adanya pelatihan yang ditugaskan oleh sekolah ataupun dinas. Guru Penggerak mendorong dirinya untuk meningkatkan kapabilitas dirinya tanpa perlu dorongan dari pihak lain.

E.2. Reflektif

Reflektif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa merefleksikan dan memaknai pengalaman yang terjadi di sekelilingnya, baik yang terjadi pada diri sendiri serta pihak lain. Proses perwujudan Profil Pelajar Pancasila, juga perjalanan menjadi Guru Penggerak pastinya akan penuh dengan pengalaman-pengalaman yang bervariasi. Pengalaman-pengalaman ini bisa menimbulkan kesan positif maupun negatif. Dengan mengamalkan nilai reflektif, Guru Penggerak diajak untuk mengevaluasi kembali pengalaman-pengalaman tersebut, hingga bisa menjadi pembelajaran dan panduan untuk menjalankan perannya di masa mendatang.

Guru Penggerak yang memiliki nilai reflektif mau membuka diri terhadap pengalaman yang baru dilaluinya, lalu melakukan evaluasi terhadap apa saja hal yang sudah baik, serta apa yang perlu dikembangkan. Apa yang dievaluasi tentu saja beragam, bisa terhadap kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, pendapat yang dimiliki oleh diri sendiri, proses, dll. Guru Penggerak yang reflektif tidak hanya berhenti sampai berefleksi namun juga sampai melakukan aksi perbaikan yang bisa dilakukan. Mereka juga senantiasa terbuka untuk meminta dan menerima umpan balik dari orang-orang di sekelilingnya.

E.3. Kolaboratif

Kolaboratif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa membangun hubungan kerja yang positif terhadap seluruh pihak pemangku kepentingan yang berada di lingkungan sekolah ataupun di luar sekolah (contoh: orang tua murid dan komunitas terkait) dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, seorang Guru Penggerak akan bertemu banyak sekali pihak yang mampu mendukung pencapaian Profil Pelajar Pancasila. Guru Penggerak diharapkan mampu merangkul semua pihak itu.

Guru Penggerak yang menjiwai nilai kolaboratif mampu membangun rasa kepercayaan dan rasa hormat antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya, serta mengakui dan mengelola perbedaan peran yang diemban oleh masing-masing tiap pemangku kepentingan sekolah dalam mencapai tujuan bersama.

Perlu diperhatikan, kolaboratif mampu muncul dalam perilaku seperti kerjasama, berkomunikasi, memahami peran masing-masing pihak dalam suatu situasi tertentu, termasuk memberikan feedback juga merupakan bagian dari kolaborasi.

E.4. Inovatif

Inovatif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa memunculkan gagasan-gagasan baru dan tepat guna terkait situasi tertentu ataupun permasalahan tertentu. Di tengah perkembangan zaman yang semakin maju, masalah yang muncul pun juga semakin bervariasi. Untuk bisa mengatasi beragam masalah tersebut, diperlukan lah jiwa inovatif dari seorang Guru Penggerak, agar bisa datang dengan penyelesaian masalah yang mungkin tidak biasa namun tepat guna. Seorang Guru Penggerak yang mempunyai nilai inovatif ini, mampu menggunakan nilai reflektifnya dalam mengevaluasi sebuah proses ataupun masalah, dan mencari gagasan-gagasan lainnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dibutuhkan kejelian dari seorang Guru Penggerak untuk melihat peluang/potensi yang ada di sekitarnya (baik dari guru lain, murid, kepala sekolah, orang tua murid, komunitas lainnya) untuk mendukung ide orisinal demi menguatkan pembelajaran murid.

Nilai inovatif ini juga mendukung keterbukaan para Guru Penggerak terhadap gagasan serta ide lain yang muncul dari luar dirinya untuk memecahkan masalah, mencari informasi lain yang bisa mendukung prosesnya, sudut pandang orang lain yang bisa membantu dirinya dalam menemukan inspirasi pemecahan masalah ataupun mengambil keputusan, hingga pada akhirnya melakukan solusi/aksi nyata untuk mengatasi permasalahan.

E.5. Berpihak pada Murid

Berpihak pada murid disini berarti seorang Guru Penggerak selalu bergerak dengan mengutamakan kepentingan perkembangan murid sebagai acuan utama. Segala keputusan yang diambil oleh seorang Guru Penggerak didasari pembelajaran murid terlebih dahulu, bukan dirinya sendiri. Segala hal yang kita lakukan, harus tertuju pada perkembangan murid, bukan pada pemuasan diri kita sendiri, maupun orang lain yang berkepentingan. Sebagai Guru Penggerak yang memiliki nilai ini, kita selalu harus mulai berpikir dari pertanyaan “apa yang murid butuhkan?”, “apa yang bisa saya lakukan untuk membuat proses belajar ini lebih baik?” dll.

 

F. Keterkaitan Peran dan Nilai Guru Penggerak dengan Filosofi Ki Hadjar Dewantara

Nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang guru penggerak adalah mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid. Nilai-nilai tersebut penting dimiliki oleh setiap guru penggerak karena jika ia memiliki nilai mandiri, maka akan lebih leluasa berkembang dan tidak perlu lagi bergantung pada orang lain. Reflektif membantu dirinya memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kelebihan yang dimiliki sehingga ia akan selalu tampil sebagai guru yang ideal. Dengan nilai kolaborasi, pekerjaan guru penggerak, menjadi lebih mudah dan ringan karena semuanya dilakukan secara kolaboratif dengan semua pihak. Inovatif mendorong terciptanya pembaruan sehingga guru akan senantiasa melahirkan ide dan gagasan yang baru dalam mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Segala tindakan dan kebijakan yang berpihak pada murid tentunya akan membuat murid senang dan termotivasi belajar sehingga akan mendorong terwujudnya profil pelajar Pancasila. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kebiasaan dalam berperilaku sehingga melekat menjadi karakter dari setiap guru penggerak. Nilai guru penggerak sangat mempengaruhi guru penggerak dalam bersikap dan bertindak. Hal ini sangat dibutuhkan seorang guru penggerak dalam memainkan perannya sebagai pemimpin pembelajaran, penggerak komunitas praktisi, coach bagi guru lain, pendorong kolaborasi, dan mewujudkan kepemimpinan murid.

Nilai dan peran guru penggerak selaras dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara. Nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid yang menjiwai guru penggerak dalam memainkan perannya tentunya akan menghadirkan guru yang sesuai dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara. Guru yang memahami bahwa jika mereka menanam padi, tidak akan mungkin tumbuh jagung begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, mereka akan memahami bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh perlakuan mereka terhadap murid. Segala tindakan dan kebijakan guru penggerak akan senantiasa berpihak pada anak. Mereka akan memperlakukan anak sesuai kodratnya, baik itu kodrat alam maupun zamannya dan tentu saja kodrat anak adalah bermain. Dengan demikian, seorang guru penggerak akan senantiasa mendidik anak agar menjadi manusia yang baik lakunya, selaras budi dan pekertinya.

 

G. Strategi untuk Mencapai Peran dan Nilai Guru Penggerak

Untuk mencapai peran dan nilai-nilai guru penggerak, tentunya membutuhkan strategi tersendiri. Strategi yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

    1. Selalu melakukan refleksi diri terhadap apa yang sudah dilakukan dan mendorong upaya memperbaiki tindakan.
    2. Senantiasa memotivasi diri untuk melakukan perubahan dalam meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajaran.
    3. Memaknai setiap pengalaman dengan melakukan evaluasi terkait kelemahan dan kekuatan yang dimiliki.
    4. Membuka diri terhadap masukan dari orang lain dan melakukan perbaikan terhadap tindakan yang belum sempurna.
    5. Menjalin kerjasama, membangun komunikasi, dan menumbuhkan rasa saling percaya dengan semua pihak dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila.
    6. Menjadikan nilai-nilai guru penggerak sebagai sebuah kebiasaan yang konsisten agar menjadi perilaku dan karakter yang melekat dalam diri (Personal Branding).

Profil pelajar Pancasila sulit terwujud jika dilakukan oleh seorang guru penggerak saja. Oleh karena itu, guru penggerak harus berkolaborasi dengan semua pihak agar tugas menjadi lebih mudah dan ringan. Pihak-pihak yang dapat membantu tugas guru penggerak dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila adalah sebagai berikut:

    1. Guru lain atau teman sejawat sebagai mitra dalam melakukan gerakan perubahan yang menuntut guru lebih mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid.
    2. Kepala sekolah sebagai pemangku kebijakan di sekolah yang berperan dalam menciptakan situasi belajar mengajar yang kondusif bagi guru dan murid. Kebijakan kepala sekolah hendaknya senantiasa berpihak pada murid agar gerakan yang dilakukan oleh guru dan kepala sekolah bisa berjalan serasi dan selaras.
    3. Orang tua siswa sebagai pendamping anak di rumah turut berpartisipasi dalam membimbing dan memberikan motivasi kepada anak, baik dengan cara memberikan semangat maupun dengan cara pemenuhan kebutuhan sekolah. Orang tua hendaknya mampu menjadi teman yang bahagia untuk belajar.
    4. Organisasi dan Komunitas Praktisi menjadi wahana dalam membagikan praktik baik pembelajaran sebagai upaya refleksi konstruktif dalam peningkatan kompetensi guru penggerak.
    5. Masyarakat dapat berkontribusi dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah baik moril maupun materiil. Masyarakat memiliki peran penting dalam membantu anak belajar dilingkungannya, terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, partner dalam pembahasan kebijakan sekolah, dan konsultasi terkait masalah pendidikan anak.

 

H. Renungan Peran dan Nilai Guru Penggerak

“Jika kita gagal merencanakan, berarti sama saja kita sedang merencanakan kegagalan.”

~ Benjamin Franklin

 

“Saat air kolammu keruh, jangan masuk kedalamnya. Jangan pula menunggu airnya menjadi lebih jernih. Jangan pula kuras habis airnya. Simpan energimu, nikmati kedamaian dalam keruhnya.”

~ I Kadek Arta

 

Share:

Rabu, 25 Agustus 2021

Filosofi Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara



Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”.

Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.

Dasar-Dasar Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat  menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”

Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani.  Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

Dalam proses ‘menuntun’ anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.

KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.

Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”

KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut: “Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)

KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman. Bila melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan melihat kodrat anak Indonesia sesungguhnya. KHD mengingatkan juga bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.

Budi Pekerti

Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.

Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga menjadi ruang untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan pusat pendidikan lainnya.

Selanjutnya, untuk lebih memperdalam pemahaman anda mengenai Filosopi Pendidikan Indonesia KHD, baca dua buah tulisan KHD berikut.

1. Dasar-Dasar Pendidikan

2. Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, dapat disimpulkan hal-hal berikut:

  1. Pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya.
  2. Kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan dan tidak boleh diartikan sebagai paksaan.
  3. Pendidikan harus bersandar pada perkembangan ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan dengan berdasar pada konsep Menuntun; Kodrat Alam dan Kodrat Jaman; Petani; Budi Pekerti; Bermain; dan Berpihak pada Anak.

Setelah lebih memahami filosofi pendidikan KHD, maka hal-hal yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan dan pengajaran diantaranya:

  1. Asas Kekeluargaan harus benar-benar dimaknai dan diterapkan.
  2. Merdeka itu tidak Lepas Bebas, perlu sentuhan orang yang lebih dewasa.
  3. Manusia itu tidak soliter tapi harus solider.
  4. Kodrat alam merupakan kuasa Tuhan dan kodrat jaman dibentuk oleh manusia.
  5. Bertindaklah sesuai kodrat jaman untuk memuliakannya.
  6. Bekerja Iklas, Bekerja Keras, Bekerja Cerdas.
  7. Ciptakan Karakter dengan permainan, nyanyian, yel-yel, dan aksi positif lainnya.
  8. Jadikan dia teman belajar.
  9. Silaturahmi dan Sungkem adalah budaya adiluhung.

Semua konsep filosofi pendidikan KHD dan implementesinya akan terlaksana dengan baik apabila kita memaknai pesan KHD bahwa:

"Dimanapun adalah Sekolah dan Siapapun adalah Guru"


Video Penunjang

Refleksi Filosofis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara



Musikalisasi Puisi - Pemikiran Filosofis Ki Hadjar Dewantara


Share:

Categories

Statistic Blog