Penjor adalah simbol dari Naga Basukih, di mana Basukih berarti kemakmuran atau kesejahteraan. Memasang Penjor juga berarti sebagai wujud rasa bhakti dan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala kemakmuran dan kesejahteraan yang telah diberikan-Nya.
Setelah Hari Raya Galungan, umat Hindu juga merayakan Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Di hari Raya Kuningan ini, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus bisa berintropeksi untuk menjadikan diri kita lebih baik dan juga bisa mengalahkan sifat Adharma yang ada pada diri kita.
Dikutip dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Secara rohani, manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kegiatan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok.
Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kalatiga, yakni tiga macam kala secara bersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan).
Maksud dari tiga kala yakni:
- Kala Amangkurat, yakni nafsu yang selalu ingin berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun menyimpang dari kebenaran.
- Kala Dungulan, yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh teman kita atau orang lain.
- Kala Galungan, yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.
Hari Raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka", lebih jauh dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah: kenafsuan (kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada), iri hati (irsya) atau semua tergolong dalam Sad Ripu maupun Satpa Timira.
Sebagaimana kita ketahui, kisah tersebut telah tertuang dalam Kitab Mahabharata yang termasuk Itihasa sangat utama dalam sastra Hindu. Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan dharma.
Sang Darmawangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma, beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang (Satyam Evam Jayate). Lain halnya dengan Maha Kawi Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Mayadanawantaka. Dalam ceritanya, dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung Gunung Ksitipogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kintamani, Bangli di Bali. Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya, ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyat di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan. Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, menghina sastra dan ajaran agama. Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk memeranginya. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Siwa dengan Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta cetik, sehingga pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa Siwa mati. Singkat cerita, Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Ia menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul, diperciki pasukan yang mati hidup kembali.
Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa terkepung, tentaranya mati, dia lari tunggang langgang, segala macam taktik tipu muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak dilihat, dia lari dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan Dewa Siwa, sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak Siring asal kata dari telapak kaki miring. Kemudian, Mayadanawa lari bersembunyi di pohon kelapa pada kuncup/pada busung kelapa, namun tetap dapat dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan Desa Blusung. Akhir cerita, karena Mayadanawa dipihak yang salah, peperangan dimenangkan oleh pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati.
Hari Galungan juga merupakan hari Pewedalan Jagat atau hari ulang tahunnya Jagat Raya. Oleh karena itu, umat Hindu di hari Galungan melaksanakan upacara, menghaturkan sesajen sesuai peruntukannya yang ditujukan sebagai ungkapan perasaan bakti, sujud, kagum dan bersyukur terhadap Jagat Raya yang diciptakan oleh Tuhan. Jagat Raya sebagai tempat untuk hidup, memberikan segala sumber penghidupan, untuk itu di hari Galungan sangat baik melakukan dana punia baik berbentuk material, maupun berupa pengabdian/jasa. Karena dalam bentuk apapun, dana punia itu diberikan yang tujuannya untuk kesejahteraan umat, ketenangan nilainya sangat tinggi bila diberikan secara tulus ikhlas.
NB: Dalam tulisan ini, dasar-dasar atau sumber rujukan sastra dalam pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan tidak kami sajikan secara rinci karena penjelasannya akan sangat panjang.
0 comments:
Posting Komentar